Sabda Raja Kraton Jogyakarta


Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tengah menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Tak lain setelah Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan dua buah Sabda Raja mengenai siapakah calon penerus tahta dirinya sebagai pemimpin Yogyakarta.
Jika biasanya Sabda Raja dikeluarkan dan membuat seluruh Abdi Dalem, keluarga keraton maupun rakyat menanti, tidak dengan kali ini. Dua buah Sabda Raja yang dikeluarkan Sultan dalam dua minggu terakhir ini justru menuai banyak kontroversial
Sabda Raja yang pertama dikeluarkan Sultan pada 30 April 2015 lalu. Sabda Raja itu berisi lima poin termasuk perubahan serta penghapusan gelar Sultan. Gelar Sultan yang sepanjang kereta api Matarmaja yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah mengalami perubahan dan penghapusan.
Lalu kemudian penulisan dan pengucapan Buwono menjadi Bawono, Kaping Sedoso menjadi Kaping Sepuluh dan pengapusan kata Kalifatullah. Selain perubahan gelar, ada pengubahan perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Dan yang terakhir adalah penyempurnaan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.
Setelah Sabda Raja pertama, Sultan mengeluarkan Sabda Raja kedua pada 5 Mei 2015. Dalam Sabda Raja kedua itu Sultan mengubah nama putri sulungnya dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. GKR Mangkubumi pun diangkat Sultan menjadi Putri Mahkota sebagai calon Ratu Yogyakarta,
Sabda Raja kedua itulah yang akhirnya membuat keluarga besar keraton Yogyakarta pecah. Banyak adik-adik Sultan tak terima Pembayun jadi Putri Mahkota yang bakal memimpin Yogyakarta. Kalau menurutmu, apakah kamu setuju jika Yogyakarta dipimpin perempuan?
Alim ulama menilai sabda raja yang dikeluarkan Sri Sultan Hamengku Buwono X merupakan hal yang sesat. Bahkan, bisikan gaib yang didengar Sultan dalam sabda raja disangsikan kebenarannya.
“Allah tidak memberikan wahyu melalui kuburan-kuburan, itu sesat,” ujar tokoh masyarakat, Heru Syafrudin Amali, dalam pengajian akbar memperjuangkan kembalinya gelar khalifatullah sultan dan mengembalikan paugeran keraton, di serambi Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, Jumat (15/5/2015).
Bisikan gaib yang diterima Sultan, kata dia, diperkirakan bukan untuk kebaikan. Sebab, apa yang terucap dalam sabda raja merombak tatanan serta tradisi luhur yang selama ini dijaga masyarakat.
Heru turut menyampaikan sebuah riwayat dari Nabi Ibrahim AS saat mendapat bisikan gaib untuk melakukan perbuatan tercela. Dalam riwayat itu, Nabi Ibrahim AS tidak melakukan apa yang diperintahkan karena tidak memberi keuntungan bagi umat (masyarakat).
Sultan, kata dia, sudah melenceng dari jalur pageuran yang selama ini dijaga. Karena itu, alim ulama harus berani mengingatkan jika sabda raja itu merupakan sesuatu yang keliru.
“Harus ada yang mengingatkan, semoga saudara-saudara Sultan lainnya bisa memperingatkan karena sabda raja itu tidak benar,” jelasnya.
Adik-adik Sultan, tutur Heru, diharapkan memberi nasihat dengan baik. Sebab, Sultan selain sebagai Raja Keraton Yogyakarta juga sebagai panutan di masyarakat. Jika sudah menjadi panutan, tetapi perbuatannya melenceng bisa merusak kepercayaan yang ada selama ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rule Of The Game

Pengambil Keputusan pada Teori Game Catur Dan SepakBola

Web Content - Menurut Pandangan Aristoteles